Part 1: Di Balik Derasnya Air
Pagi itu, kabut masih melayang-layang malas di antara pepohonan di kaki Gunung Welirang. Aris, seorang pemuda Pacet yang akrab dengan alam pegunungan, menyusuri jalan setapak yang menghubungkan rumahnya dengan rumah orang tuanya, hanya sekitar seratus meter dari sana. Sepanjang jalan, burung-burung kecil berkicau, embun yang menggantung di ujung-ujung dedaunan berkilauan tertimpa sinar matahari pagi, seperti kristal mungil yang menyambut hari baru.
Aris melangkah santai sambil sesekali menghirup udara segar pagi yang khas pegunungan. Di pinggangnya tergantung botol air yang selalu ia bawa ke mana-mana, berisi air yang jernih dari sumber di halaman rumah bapaknya. Air itulah yang selama ini menjadi teman minumnya sehari-hari, air yang begitu segar, seolah punya nyawa sendiri.
Sampai di rumah orang tuanya, Aris menemukan bapaknya sedang duduk santai di depan rumah, menatap aliran air yang deras mengalir dari sumber yang terletak tak jauh dari sana.
“Sudah sejak kapan, Pak, sumber ini ngalirnya deras seperti ini?” Aris bertanya sambil duduk di sebelah bapaknya.
Bapaknya menoleh, mengelus janggutnya yang memutih, dan tersenyum kecil, “Sudah lama, Ris. Sejak kau kecil, sumber ini sudah deras. Bapak sampai heran, mengalir terus tak pernah berhenti.”
Aris hanya mengangguk-angguk sambil menatap air yang mengalir deras ke aliran kecil di bawahnya. Sumber itu memang berbeda dari sumber-sumber lain yang pernah ia temui. Airnya bening, begitu beningnya hingga dasar alirannya terlihat jelas. Dinginnya air itu mampu membuat siapa saja yang mencicipnya merasa segar luar biasa, seperti minuman dari alam yang tidak terkontaminasi apa pun.
Aris mengambil segelas air langsung dari sumber itu, meneguknya perlahan, menikmati kesegarannya. Ada rasa berbeda saat ia meminumnya kali ini, seolah-olah air itu menyampaikan sebuah pesan: "Gunakan aku, manfaatkan aku."
Ia menatap bapaknya dengan mata berbinar. "Pak, kalau saja orang-orang di kota tahu betapa segarnya air ini, mungkin mereka akan rela datang jauh-jauh hanya untuk minum seteguk."
Bapaknya tertawa, "Mungkin saja, Ris. Tapi mereka di kota besar mana punya waktu untuk datang ke sini hanya untuk minum air pegunungan."
Aris terdiam sejenak, berpikir. Benar juga, pikirnya. Mungkin air ini bisa ia bawa ke kota, ke tempat-tempat di mana orang-orang haus akan sesuatu yang segar, alami, dan berbeda dari air yang mereka minum sehari-hari.
"Pikiranmu nyambung ke mana, Ris?" tanya bapaknya, heran melihat tatapan Aris yang tiba-tiba serius.
Aris tersenyum, senyum yang penuh ide. "Pak, kalau kita bawa air ini ke kota, kita kirim pakai mobil tangki, kira-kira orang-orang mau beli nggak, ya?"
Bapaknya mengernyitkan dahi, sejenak bingung. Namun, melihat tekad di mata Aris, bapaknya tahu bahwa kali ini anaknya mungkin tidak sedang bercanda.
“Kalau orang kota mau beli air botolan, mungkin mereka juga mau air pegunungan, apalagi yang sesegar ini,” bapaknya menjawab, tertawa ringan.
Sejak hari itu, langkah Aris terasa lebih ringan saat berjalan pulang. Di kepalanya, mengalir ide-ide besar tentang bagaimana ia bisa membawa air ini, kesegaran dari pegunungan Pacet, ke kota-kota di bawah sana: Mojokerto, Gresik, Lamongan, Sidoarjo, Surabaya. Dengan satu mobil tangki kecil, Aris yakin ia bisa mengirimkan segarnya pegunungan ke tengah hiruk pikuk kota besar.
==