Bagian 2: Keputusan yang Tak Mudah
Keesokan paginya, Bagus terbangun lebih awal dari biasanya. Udara pagi yang dingin dan segar memasuki jendela yang sedikit terbuka, membawa wangi tanah basah setelah hujan semalam. Matahari belum sepenuhnya menampakkan diri, tetapi sudah cukup untuk memberi cahaya ke ruang tamu rumahnya yang sederhana. Di ruang itu, ayahnya duduk di kursi kayu, membaca surat kabar usang yang sudah mulai menguning.
Bagus merasa perutnya sedikit bergejolak. Ia tahu, keputusan besar akan segera ia ambil—keputusan yang mungkin akan mengubah banyak hal. Dengan langkah pelan, ia menghampiri ayahnya, duduk di sampingnya, dan mulai berbicara.
"Ayah," kata Bagus pelan, "aku ingin membuka usaha."
Ayahnya melipat surat kabar dan menatap Bagus dengan tatapan yang penuh makna. Ada jeda yang panjang sebelum akhirnya ayahnya berbicara.
"Usaha? Apa jenis usaha, Bagus?" suara ayahnya terdengar tegas, namun ada ketegangan yang terasa. Bagus tahu bahwa ayahnya selalu berhati-hati dalam hal-hal seperti ini, terutama tentang usaha. Ayahnya sendiri hanya seorang petani biasa yang tidak pernah berhasil mengembangkan usaha apapun selain tanah milik mereka.
"Aku ingin membuka usaha pemasangan mesin depo air minum isi ulang. Agar orang-orang di desa ini tidak lagi kesulitan mendapatkan air bersih," jawab Bagus, suaranya penuh keyakinan, meski hatinya sedikit ragu.
Ayahnya terdiam, memandangnya dengan serius. Wajahnya yang sudah keriput itu mengernyit, seolah berpikir keras. Bagus bisa merasakan ketidaksetujuan ayahnya yang terpendam, meskipun tidak diungkapkan dengan kata-kata.
"Bagus, kau tahu, usaha bukan perkara mudah. Bahkan bagi orang yang sudah berpengalaman sekalipun. Mesin, modal, dan semua itu... apakah kau benar-benar siap?" Ayahnya bertanya, suaranya lebih lembut kali ini, namun tetap penuh kekhawatiran.
Bagus menundukkan kepala sejenak, meresapi kata-kata ayahnya. Sungguh, ia tahu semua itu. Usaha bukan hanya tentang modal, mesin, dan pemasaran. Itu tentang ketekunan yang tak kenal lelah, tentang menghadapi kegagalan dan kekecewaan yang datang tanpa diundang. Tapi, yang membuat Bagus yakin, adalah kenyataan bahwa ia tidak bisa terus mengandalkan cara lama. Desa mereka perlu perubahan. Masyarakat di sekitarnya butuh sesuatu yang lebih dari sekadar perjuangan harian.
"Aku sudah berpikir tentang itu, Yah. Aku yakin ini bisa berhasil. Aku akan bekerja keras, dan jika ada kegagalan, aku akan belajar darinya. Ini bukan hanya tentang uang, tapi juga untuk membantu orang-orang di sini. Kalau bukan aku, siapa lagi?" jawab Bagus, suara yang sebelumnya ragu kini mulai terdengar lebih kuat.
Ayahnya menghela napas panjang, lalu menatap Bagus dalam-dalam. Ada raut wajah yang sulit dibaca, tapi Bagus tahu, ayahnya menyadari bahwa ia tidak bisa menghentikan langkah anaknya kali ini.
"Baiklah, Bagus. Tapi ingat, kalau kau jatuh, kami akan ada di sini untuk mendukungmu. Jangan hanya karena semangat sesaat, kau melupakan apa yang penting. Tanah ini, keluarga ini, tidak bisa diabaikan." Ayahnya akhirnya memberi restu, meski dengan banyak peringatan.
Bagus mengangguk, merasa beban yang ada di pundaknya sedikit lebih ringan. Ini adalah keputusan yang tidak mudah, tapi inilah saatnya. Waktu untuk berbicara selesai. Sekarang adalah waktunya untuk bertindak. Ia sudah tahu jalan yang harus ditempuh, dan tidak ada lagi keraguan yang menghalangi.
Ketika ayahnya kembali melipat surat kabarnya dan melanjutkan bacaan, Bagus berdiri dan berjalan menuju pintu. Dengan langkah mantap, ia keluar rumah, menuju jalan yang panjang dan penuh tantangan. Sebuah perjalanan yang dimulai dengan keputusan yang berat, tetapi pasti, seperti matahari yang tak pernah ragu untuk terbit setiap pagi.
Di luar, udara pagi semakin segar, dan Bagus merasa lebih siap dari sebelumnya.
==